Ternyata memang gampang menasehati orang lain, tapi susah banget
disiplin untuk diri sendiri. Saya taruhan, pasti banyak deh dokter
dokter model kayak saya gini hehehehe. Jadi kali ini mau berbagi cerita ringan waktu dulu jadi co-ass alias
dokter muda saja deh. Kalau ceritanya Ki Ageng beneran zaman dulu, kalo
saya sih masih belum terlalu lama. Masih masuk kisah zaman modern hehehehe.
Setelah
lulus dari pendidikan di Fakultas Kedokteran selama 4 tahun, kami harus
masuk pendidikan klinik program studi profesi dokter (PSPD) selama 2
tahun, berkeliling ke semua bagian/stase. Ada stase mayor (anak, ob-gyn, penyakit dalam, bedah) dan ada stase minor. Di stase mayor, dan
beberapa stase minor seperti anestesi, neurologi, psikiatri/jiwa ada
giliran jaga malam, tugas poliklinik maupun tugas di bangsal. Oh ya, di
fase pendidikan klinik ini kami disebut dokter muda (istilah kerennya)
atau ko-ass (sering diplesetkan jadi: kelompok anak selalu salah .... dan memang sih, kayaknya nasib ko-ass ya salah melulu).
Berhubung universitas saya tidak punya RS sendiri, untuk menjalani
pendidikan klinik tersebut kami semua dipecah dalam kelompok kelompok
kecil terdiri dari 5-8 orang (bisa lebih 10 atau bahkan bisa hanya 3
orang, tergantung jumlah ko-ass yang ada dan kapasitas RS) dan
di kirim ke RS pendidikan yang punya koneksi dengan universitas.
Kelompok kecil ini selalu berbeda beda, karena ditentukan berdasarkan
undian yang diatur pihak universitas. Jadilah saya bersama sama teman
yang kena satu group bisa pindah pindah RS, dari RS Tarakan di Jakarta
Barat, RS Fatmawati Jakarta Selatan, RS Budi Asih Jakarta Timur, RSAL
Jakarta Pusat sampai RS Koja Cilincing (saya sudah kenyang nyetir
sendirian ke semua tempat itu).
Yang paling saya suka pas stase jiwa di RSJ Grogol....karena
dekat banget sama rumah saya, tugas di sana serasa tugas di rumah
sendiri hehehehehe.
Di setiap RS ini ada bagian yang terkenal pembimbing-nya "killer” dan pasien-nya segabrekssss
sampai sampai jaga malam bahkan tidak bisa duduk semaleman dan ada
bagian bagian yang istilahnya surga, pasien tidak terlalu banyak dan
dokter pembimbing-nya baik baik. Saya sih dengan suksesnya selalu dapat
undian kena di bagian yang angker plus, selalu dapat undian dapat
pembimbing dan penguji yang angker juga. Busyeet deh :(
Oh ya temen temen di group juga berpengaruh, kalau lagi beruntung,
bisa dapat temen temen yang enak satu group, sehingga susah sedih jaga
malam, susah sedih dimaki maki dokter pembimbing depan pasien, juga jadi
tidak berasa. Tapi kalo pas lagi apes dapat temen satu group yang mau
menang sendiri ...wah nasib deh, beneran itu apes.
Stase yang paling berkesan buat saya, stase bedah. Saya mesti kerja di poly, di
bangsal, di UGD dan pertama kalinya merasakan jaga malam. Untungnya
dapat teman satu group yang kompak banget dan saking kompaknya, kami
berhasil bikin para residen bedah ortopedi yang ganteng ganteng ikutan
kompakan. Mereka bantuin kami jawabin tugas kasus yang diberikan
penguji, sampai sampai ada penguji yang bingung dan mengatakan
“Sepertinya kok saya merasa pernah dengar ya dengan jawaban kalian…apa
betul ini jawaban kalian?” hahahaha. Ternyata penguji-nya “ngeh” juga
kalau jawaban kami sama persis dengan jawaban residen bedah.
Jaga malam gantian saling cover, jadi bisa gantian tidur
meski hanya 1-2 jam sehingga tidak terlalu tewas keesokan harinya. Oh
ya, kalau jaga malam bukan berarti bisa pulang besok paginya. Jadi kalau
dapat tugas jaga malam hari Selasa misalnya, itu berarti kami harus
datang untuk ikut kegiatan sehari hari sejak Selasa pagi sampai sore,
lalu dilanjutkan terus jaga malam sampai Rabu pagi, dan kembali ikut
kegiatan sampai Rabu sore. Total kerja 36 jam. Pulang pun masih ada
setumpuk referat dan tugas lagi (saya sendiri masih ada kerjaan tambahan
kerja, jadi pulang rumah baru bisa jam 9 atau 10 malam). Kalau anggota
group hanya sedikit, baru jaga, besok pulang, besoknya sudah jaga lagi.
Seminggu mungkin hanya 2 hari ketemu bantal di rumah.
Nah, waktu stase bedah ini ….jaga tiap hari juga gak apa, lha wong residen bedah yang nemenin jaganya
itu baik baik dan ganteng ganteng. Temen saya ada yang meski bukan
giliran jaga, malah jadi rajin bersedia gantiin atau temenin teman lain
yang jaga! (saya heran, kenapa ya dokter bedah ortopedi kok rasanya
ganteng ganteng sih ya, di Jepang sini juga, ada yang blasteran
Jepang-Amerika …benar benar godaan deeeh).
Stase lain yang berkesan buat saya, stase neurology. Dapat stase susah, dengan pasien segabreks dan
parahnya dapat pembimbing juga yang angker. Bayangkan, di antara
pembimbing/ penguji ada 3 orang yang terkenal susah dilewati, alias
susah buat lulus langsung 1x ujian. Nah, saya dengan suksesnya dapat
tugas presentasi kasus dengan salah satu diantara ke-3 orang tersebut
dan ujian dengan 2 orang sisanya. Komplit, tiga tiganya di tangan saya.
Pas ujian pasien, mendadak si pasien sesak napas padahal saya sudah
dengan mantapnya tulis di hasil pemeriksaan kalau jantung dan parunya
bersih. Langsung si penguji minta stetoskop saya dan cek langsung
pasiennya. Rasanya saat itu saya sudah mau pingsan di tempat, muka sudah
ikutan pucat ngalahin pucatnya pasien …sampai sampai pasiennya yang
dengan berbaik hati membela saya bilang ke dokter penguji kalau dia
memang sesak mendadak, sebelumnya tidak apa apa, sehat dsb.
Untungnya, memang si dokter penguji juga tidak menemukan kelainan apa apa (thanks to my stethoscope!). Jadilah
saya lolos dan setelah melewati diskusi yang membuat saya nyaris
terkena serangan jantung, saya berhasil lulus langsung!! Kebetulan lagi,
semua anak di group kami juga cukup rajin rajin dan akhirnya group kami
di stase neurology itu jadi group pertama yang ke semua anggotanya
berhasil lulus langsung tanpa ada yang tersisa harus mengulang. Semua
perawat dan dokter pembimbing juga akhirnya mengucapkan selamat. Setelah
itu (katanya siih) semua group yang masuk sesudah kami jadi
dibandingkan dan dapat tekanan untuk bisa seperti kami. Yah, airmata
yang berakhir dengan kegembiraan.
Eh, ada sedihnya juga sih stase ini. Di stase ini, engkong (kakek)
saya meninggal. Saya sempat menghadiri acara tutup peti-nya tapi tidak
bisa ikut menghantar ke tempat kremasi karena harus jaga dan tidak
berhasil dapat pengganti. Pas nyetir jaga ke RS, di mobil saya mendadak
dalam hitungan detik tercium bau kembang yang sama dengan kembang yang
ditaruh di peti engkong. Yah apa boleh buat, saya hanya bisa berdoa dan
minta maaf tidak bisa ikut mengantar ke tempat peristirahatan terakhir.
Saya nangis pas di RS, pasien di ICU saya jaga, saya monitor dan saya
pantau kondisinya, pasien meninggal pun saya ada disampingnya. Tapi,
engkong saya sendiri tidak pernah bisa saya tunggui, tidak sempat saya
cek (meski engkong bangga bercerita cucunya dokter), dan terakhirpun tidak dapat saya antar.
Stase lain yang juga meninggalkan kenangan, yakni stase ilmu jiwa dan
forensik. Disini pasien saya berbeda, bukan orang sakit biasa seperti
di stase lain. Pasien pasien jiwa membuat membuka mata saya untuk lebih
peka menghargai orang lain di sekitar saya. Banyak di antara mereka
menderita tekanan mental karena ada kejadian traumatik yang menimpa
hidup mereka. Setelah mereka sembuh-pun, masih sulit diterima kembali di
masyarakat. Cap “orang gila” seolah tidak lepas dari diri mereka meski
mereka sudah sembuh, bahkan kadang keluarga mereka meninggalkannya
begitu saja di RSJ tanpa pernah dijenguk sekalipun.
Saat saya berinteraksi dengan mereka, ternyata saya merasa mereka
punya hati yang bahkan lebih tulus daripada orang normal! Mereka tahu
bahwa saya membutuhkan mereka untuk lulus ujian, dan mereka membantu
dengan segenap hati meski kadang mereka harus kembali dengan pahitnya
mengingat kejadian kejadian traumatik mereka atau halusinasi atau suara
suara yang pernah mereka dengar hanya untuk supaya saya bisa menulis
status medis si pasien dengan komplit!. Setelah selesai ujian, lulus, ya
selesai. Kami melangkah terus ke depan meninggalkan mereka, sementara
mereka hanya bisa tersenyum mengucapkan selamat dan kembali ke kamar
masing masing.
Sejak saat itu, saya tidak mau lagi bercanda mengolok olok pasien
RSJ. Mereka juga manusia yang punya hati (yang hanya kebetulan kurang
beruntung) dan harus dihargai keberadaannya.
Sedangkan “pasien” forensik membuat saya belajar menghargai hidup
saya. Rasanya miris mengingat saya pernah mengotopsi pasien kecelakaan
dengan nasi masih utuh di lambungnya. Bayangan bahwa ia baru saja
menyelesaikan makan paginya untuk berangkat kerja ke kantor, ternyata
malah berakhir di meja otopsi, sungguh membuat saya lebih menghargai
hidup dan ingat ada kuasa yang lebih besar dari kuasa manusia.
Selama di stase ini, setiap pagi pas berangkat saya jadi punya
kebiasaan memperhatikan headline Pos Kota saat stop di lampu merah,
ya..siapa tahu dapat bocoran seperti apa tugas yang menanti. Selama
stase ini juga tidak pernah sekalipun saya menonton sinetron TV
Indonesia yang penuh dengan kisah horor. Bisa repot soalnya kalau
terbayang bayang pas jaga malam hahahaha.
Oh ya, soal ujian di stase ini juga berkesan karena ujian diskusi
hanya diberikan satu soal. Jawaban boleh bebas, dan dokter penguji hanya
menilai logika dan alasan yang kami pakai untuk menjawab. Saya senang
banget, karena setelah selesai ujian, sang penguji mengatakan saya cocok
melanjutkan studi menjadi residen interna dan menawarkan seandainya
saya juga mau menjadi dokter forensik. Sayangnya, saya merasa tidak
cukup mampu untuk memenuhi keduanya, yang satu ilmunya terlalu berat dan
susah, sedangkan yang satunya juga ilmunya tinggi, dan...... nyali saya
tidak cukup untuk setiap hari bertemu “pasien” forensik.
Masih banyak cerita berkesan di setiap stase yang pernah saya lalui.
Saya berterima kasih untuk para dokter dokter senior yang sudah
meluangkan waktunya mendidik, dan juga dari pasien pasien yang banyak
membuka mata saya. Tidak hanya ilmu kedokteran yang saya dapat, tapi
juga filsafat kehidupan. Akhir akhir ini profesi dokter banyak disorot
karena muncul berbagai kasus yang membuat orang mempertanyakan kualitas
dokter di Indonesia.
Saya akui, ada dokter yang memang bermasalah tapi juga tidak
sedikit dokter yang sungguhan mempunyai hati seorang dokter. Dokter juga
manusia yang punya kelebihan dan kekurangan. Tidak mudah tetap
tersenyum dan sabar menghadapi pasien, sementara anak sendiri di rumah
sedang sakit dan tidak bisa ditunggui. Tidak mudah menghibur pasien yang
berduka, sementara dokternya sendiri sedang berduka kehilangan anggota
keluarganya.
Meski begitu, saya juga mengakui memang itulah resiko tanggung jawab
yang dipikul seorang dokter. Jangan jadi dokter hanya untuk gengsi,
gelar semata mata karena akhirnya jadi tidak sepenuh hati menjalani
tugasnya. Masyarakat juga harus jeli dan pintar melihat mana yang dokter
sungguhan dan bukan.
From: http://kolomkita.detik.com/
0 komentar:
Posting Komentar