Selasa, 10 Desember 2013

Sepotong kisah dokter muda

Posted by M rifqi Hidayatullah | 02.45 Categories: , ,
Ternyata memang gampang menasehati orang lain, tapi susah banget disiplin untuk diri sendiri. Saya taruhan, pasti banyak deh dokter dokter model kayak saya gini hehehehe. Jadi kali ini mau berbagi cerita ringan waktu dulu jadi co-ass alias dokter muda saja deh. Kalau ceritanya Ki Ageng beneran zaman dulu, kalo saya sih masih belum terlalu lama. Masih masuk kisah zaman modern hehehehe.
Setelah lulus dari pendidikan di Fakultas Kedokteran selama 4 tahun, kami harus masuk pendidikan klinik program studi profesi dokter (PSPD) selama 2 tahun, berkeliling ke semua bagian/stase. Ada stase mayor (anak, ob-gyn, penyakit dalam, bedah) dan ada stase minor. Di stase mayor, dan beberapa stase minor seperti anestesi, neurologi, psikiatri/jiwa ada giliran jaga malam, tugas poliklinik maupun tugas di bangsal. Oh ya, di fase pendidikan klinik ini kami disebut dokter muda (istilah kerennya) atau ko-ass (sering diplesetkan jadi: kelompok anak selalu salah ....  dan memang sih, kayaknya nasib ko-ass ya salah melulu).
Berhubung universitas saya tidak punya RS sendiri, untuk menjalani pendidikan klinik tersebut kami semua dipecah dalam kelompok kelompok kecil terdiri dari 5-8 orang (bisa lebih 10 atau bahkan bisa hanya 3 orang, tergantung jumlah ko-ass yang ada dan kapasitas RS) dan di kirim ke RS pendidikan yang punya koneksi dengan universitas. Kelompok kecil ini selalu berbeda beda, karena ditentukan berdasarkan undian yang diatur pihak universitas. Jadilah saya bersama sama teman yang kena satu group bisa pindah pindah RS, dari RS Tarakan di Jakarta Barat, RS Fatmawati Jakarta Selatan, RS Budi Asih Jakarta Timur, RSAL Jakarta Pusat sampai RS Koja Cilincing (saya sudah kenyang nyetir sendirian ke semua tempat itu).
Yang paling saya suka pas stase jiwa di RSJ Grogol....karena dekat banget sama rumah saya, tugas di sana serasa tugas di rumah sendiri hehehehehe.
Di setiap RS ini ada bagian yang terkenal pembimbing-nya "killer” dan pasien-nya segabrekssss sampai sampai jaga malam bahkan tidak bisa duduk semaleman dan ada bagian bagian yang istilahnya surga, pasien tidak terlalu banyak dan dokter pembimbing-nya baik baik. Saya sih dengan suksesnya selalu dapat undian kena di bagian yang angker plus, selalu dapat undian dapat pembimbing dan penguji yang angker juga. Busyeet deh :(
Oh ya temen temen di group juga berpengaruh, kalau lagi beruntung, bisa dapat temen temen yang enak satu group, sehingga susah sedih jaga malam, susah sedih dimaki maki dokter pembimbing depan pasien, juga jadi tidak berasa. Tapi kalo pas lagi apes dapat temen satu group yang mau menang sendiri ...wah nasib deh, beneran itu apes.
Stase yang paling berkesan buat saya, stase bedah. Saya mesti kerja di poly, di bangsal, di UGD dan pertama kalinya merasakan jaga malam. Untungnya dapat teman satu group yang kompak banget dan saking kompaknya, kami berhasil bikin para residen bedah ortopedi yang ganteng ganteng ikutan kompakan. Mereka bantuin kami jawabin tugas kasus yang diberikan penguji, sampai sampai ada penguji yang bingung dan mengatakan “Sepertinya kok saya merasa pernah dengar ya dengan jawaban kalian…apa betul ini jawaban kalian?” hahahaha. Ternyata penguji-nya “ngeh” juga kalau jawaban kami sama persis dengan jawaban residen bedah.
Jaga malam gantian saling cover, jadi bisa gantian tidur meski hanya 1-2 jam sehingga tidak terlalu tewas keesokan harinya. Oh ya, kalau jaga malam bukan berarti bisa pulang besok paginya. Jadi kalau dapat tugas jaga malam hari Selasa misalnya, itu berarti kami harus datang untuk ikut kegiatan sehari hari sejak Selasa pagi sampai sore, lalu dilanjutkan terus jaga malam sampai Rabu pagi, dan kembali ikut kegiatan sampai Rabu sore. Total kerja 36 jam. Pulang pun masih ada setumpuk referat dan tugas lagi (saya sendiri masih ada kerjaan tambahan kerja, jadi pulang rumah baru bisa jam 9 atau 10 malam). Kalau anggota group hanya sedikit, baru jaga, besok pulang, besoknya sudah jaga lagi. Seminggu mungkin hanya 2 hari ketemu bantal di rumah.
Nah, waktu stase bedah ini ….jaga tiap hari juga gak apa, lha wong residen bedah yang nemenin jaganya itu baik baik dan ganteng ganteng. Temen saya ada yang meski bukan giliran jaga, malah jadi rajin bersedia gantiin atau temenin teman lain yang jaga! (saya heran, kenapa ya dokter bedah ortopedi kok rasanya ganteng ganteng sih ya, di Jepang sini juga, ada yang blasteran Jepang-Amerika …benar benar godaan deeeh). 
Stase lain yang berkesan buat saya, stase neurology. Dapat stase susah, dengan pasien segabreks dan parahnya dapat pembimbing juga yang angker. Bayangkan, di antara pembimbing/ penguji ada 3 orang yang terkenal susah dilewati, alias susah buat lulus langsung 1x ujian. Nah, saya dengan suksesnya dapat tugas presentasi kasus dengan salah satu diantara ke-3 orang tersebut dan ujian dengan 2 orang sisanya. Komplit, tiga tiganya di tangan saya.
Pas ujian pasien, mendadak si pasien sesak napas padahal saya sudah dengan mantapnya tulis di hasil pemeriksaan kalau jantung dan parunya bersih. Langsung si penguji minta stetoskop saya dan cek langsung pasiennya. Rasanya saat itu saya sudah mau pingsan di tempat, muka sudah ikutan pucat ngalahin pucatnya pasien …sampai sampai pasiennya yang dengan berbaik hati membela saya bilang ke dokter penguji kalau dia memang sesak mendadak, sebelumnya tidak apa apa, sehat dsb.
Untungnya, memang si dokter penguji juga tidak menemukan kelainan apa apa (thanks to my stethoscope!). Jadilah saya lolos dan setelah melewati diskusi yang membuat saya nyaris terkena serangan jantung, saya berhasil lulus langsung!! Kebetulan lagi, semua anak di group kami juga cukup rajin rajin dan akhirnya group kami di stase neurology itu jadi group pertama yang ke semua anggotanya berhasil lulus langsung tanpa ada yang tersisa harus mengulang. Semua perawat dan dokter pembimbing juga akhirnya mengucapkan selamat. Setelah itu (katanya siih) semua group yang masuk sesudah kami jadi dibandingkan dan dapat tekanan untuk bisa seperti kami. Yah, airmata yang berakhir dengan kegembiraan.
Eh, ada sedihnya juga sih stase ini. Di stase ini, engkong (kakek) saya meninggal. Saya sempat menghadiri acara tutup peti-nya tapi tidak bisa ikut menghantar ke tempat kremasi karena harus jaga dan tidak berhasil dapat pengganti. Pas nyetir jaga ke RS, di mobil saya mendadak dalam hitungan detik tercium bau kembang yang sama dengan kembang yang ditaruh di peti engkong. Yah apa boleh buat, saya hanya bisa berdoa dan minta maaf tidak bisa ikut mengantar ke tempat peristirahatan terakhir. Saya nangis pas di RS, pasien di ICU saya jaga, saya monitor dan saya pantau kondisinya, pasien meninggal pun saya ada disampingnya. Tapi, engkong saya sendiri tidak pernah bisa saya tunggui, tidak sempat saya cek (meski engkong bangga bercerita cucunya dokter), dan terakhirpun tidak dapat saya antar.
Stase lain yang juga meninggalkan kenangan, yakni stase ilmu jiwa dan forensik. Disini pasien saya berbeda, bukan orang sakit biasa seperti di stase lain. Pasien pasien jiwa membuat membuka mata saya untuk lebih peka menghargai orang lain di sekitar saya. Banyak di antara mereka menderita tekanan mental karena ada kejadian traumatik yang menimpa hidup mereka. Setelah mereka sembuh-pun, masih sulit diterima kembali di masyarakat. Cap “orang gila” seolah tidak lepas dari diri mereka meski mereka sudah sembuh, bahkan kadang keluarga mereka meninggalkannya begitu saja di RSJ tanpa pernah dijenguk sekalipun.
Saat saya berinteraksi dengan mereka, ternyata saya merasa mereka punya hati yang bahkan lebih tulus daripada orang normal! Mereka tahu bahwa saya membutuhkan mereka untuk lulus ujian, dan mereka membantu dengan segenap hati meski kadang mereka harus kembali dengan pahitnya mengingat kejadian kejadian traumatik mereka atau halusinasi atau suara suara yang pernah mereka dengar hanya untuk supaya saya bisa menulis status medis si pasien dengan komplit!. Setelah selesai ujian, lulus, ya selesai. Kami melangkah terus ke depan meninggalkan mereka, sementara mereka hanya bisa tersenyum mengucapkan selamat dan kembali ke kamar masing masing.
Sejak saat itu, saya tidak mau lagi bercanda mengolok olok pasien RSJ. Mereka juga manusia yang punya hati (yang hanya kebetulan kurang beruntung) dan harus dihargai keberadaannya.



Sedangkan “pasien” forensik membuat saya belajar menghargai hidup saya. Rasanya miris mengingat saya pernah mengotopsi pasien kecelakaan dengan nasi masih utuh di lambungnya. Bayangan bahwa ia baru saja menyelesaikan makan paginya untuk berangkat kerja ke kantor, ternyata malah berakhir di meja otopsi, sungguh membuat saya lebih menghargai hidup dan ingat ada kuasa yang lebih besar dari kuasa manusia.
Selama di stase ini, setiap pagi pas berangkat saya jadi punya kebiasaan memperhatikan headline Pos Kota saat stop di lampu merah, ya..siapa tahu dapat bocoran seperti apa tugas yang menanti. Selama stase ini juga tidak pernah sekalipun saya menonton sinetron TV Indonesia yang penuh dengan kisah horor. Bisa repot soalnya kalau terbayang bayang pas jaga malam hahahaha.
Oh ya, soal ujian di stase ini juga berkesan karena ujian diskusi hanya diberikan satu soal. Jawaban boleh bebas, dan dokter penguji hanya menilai logika dan alasan yang kami pakai untuk menjawab. Saya senang banget, karena setelah selesai ujian, sang penguji mengatakan saya cocok melanjutkan studi menjadi residen interna dan menawarkan seandainya saya juga mau menjadi dokter forensik. Sayangnya, saya merasa tidak cukup mampu untuk memenuhi keduanya, yang satu ilmunya terlalu berat dan susah, sedangkan yang satunya juga ilmunya tinggi, dan...... nyali saya tidak cukup untuk setiap hari bertemu “pasien” forensik.
Masih banyak cerita berkesan di setiap stase yang pernah saya lalui. Saya berterima kasih untuk para dokter dokter senior yang sudah meluangkan waktunya mendidik, dan juga dari pasien pasien yang banyak membuka mata saya. Tidak hanya ilmu kedokteran yang saya dapat, tapi juga filsafat kehidupan. Akhir akhir ini profesi dokter banyak disorot karena muncul berbagai kasus yang membuat orang mempertanyakan kualitas dokter di Indonesia.
Saya akui, ada dokter yang memang bermasalah tapi juga tidak sedikit dokter yang sungguhan mempunyai hati seorang dokter. Dokter juga manusia yang punya kelebihan dan kekurangan. Tidak mudah tetap tersenyum dan sabar menghadapi pasien, sementara anak sendiri di rumah sedang sakit dan tidak bisa ditunggui. Tidak mudah menghibur pasien yang berduka, sementara dokternya sendiri sedang berduka kehilangan anggota keluarganya.
Meski begitu, saya juga mengakui memang itulah resiko tanggung jawab yang dipikul seorang dokter. Jangan jadi dokter hanya untuk gengsi, gelar semata mata karena akhirnya jadi tidak sepenuh hati menjalani tugasnya. Masyarakat juga harus jeli dan pintar melihat mana yang dokter sungguhan dan bukan.

From: http://kolomkita.detik.com/

0 komentar:

Posting Komentar