Selasa, 10 Desember 2013

Kalau lurus bisa, kenapa harus nyeleneh

Posted by M rifqi Hidayatullah | 02.11 Categories: , ,


“Aku ingin masuk Fakultas Kedokteran kawan, do’akan ya!
Akhir-akhir ini telinga dan mata saya menjadi akrab dengan kalimat yang sering dilontarkan teman-teman seusia saya. Fakultas Kedokteran atau yang kerap disapa dengan sebutan FK ini menjadi salah satu idaman bagi banyak orang. Idealis tentu saja. Namun begitulah mimpi kecil yang ada di benak masing-masing orang. Profesi ini dinilai memungkinkan, memakmurkan,dan  juga bisa diterima oleh lingkungannya. Inilah  sebabnya mereka seringkali melontarkan kalimat tersebut. Ini berawal sejak mereka duduk di bangku kelas XII.
Ditambah lagi dengan tuntutan orang tua dan kemauan saya yang membuat cita-cita ini semakin menjadi. Orang tua saya, terutama ibu sering berpesan kepada saya “Nak, carilah perguruan tinggi yang mana selepas dari itu, kamu langsung kerja dan memperoleh pendapatan yang tinggi”. Kalimat-kalimat itulah yang sering diucapkan oleh ibu saya sampai saat ini. Beliau berasumsi bahwa dengan pendapatan tinggi, kelangsungan hidup seseorang akan terjamin, baik kecukupan kebutuhan primer, sekunder bahkan kebutuhan tersier. Lantas, kenapa harus langsung kerja? Kenapa orientasinya harus pada pendapatan?
Berawal dari mindset inilah mungkin sampai saat ini yang membuat banyak orang salah ambil jalan. Banyak yang mengambil jalur alternatif untuk memperoleh apa yang ia kehendaki. Saya sendiri pernah mendengar, ada anak yang pernah berbicara langsung kepada salah seorang guru saya,
”Bapak, saya pasti masuk FK”
”Lho, kok bisa nak?”
”Ya jelas pak, ibu saya sudah siapin uang 1 M buat kesana”
Saya sendiri sempat terkejut ketika mendengarnya. Coba bayangkan berapa nominal yang siap  dikeluarkan oleh orang tua anak tersebut. Apapun caranya pasti orang tua anak itu lakukan hanya untuk menjadikan anaknya bisa melanjutkan kuliah di fakultas kedokteran. Ada juga yang berusaha untuk mencari kenalan orang dalam bahkan dosen-dosen pun mereka jadikan sasaran agar bisa masuk kedalam fakultas tersebut. Alhasil berita penyelewengan ini kerap menjadi topik hangat pada saat penerimaan mahasiswa baru.
Ini tidak lain karena terbukanya kesempatan untuk berbuat curang. Sama seperti prinsipnya, kejahatan bisa terjadi karena ada niat dan kesempatan. Maka bisa dikatakan bahwa salah satu faktor terjadinya penyelewengan adalah  lingkungan tersebut yang mendukung terjadinya penyelewengan.
Awalnya tindakan ini memang hanya dilakukan oleh beberapa oknum tertentu. Lebih-lebih mereka yang mempunyai wewenang. Alhasil satu fakultas akan menjadi bahan perbincangan public. Bak nila setitik yang merusak susu sebelangga, kemudian tindakan ini nyatanya lalu membudaya, dan membentuk sistem. Dari anggota bawahan hingga jajaran elit. Seperti tidak ada yang salah jika seseorang melakukan penyelewengan. Sudah biasa. Sudah menjadi tradisi.
Akibatnya, kredibilitas lembaga kedokteran menurun, bahkan bisa dibilang negatif di mata masyarakat. Hal ini akan menghasilkan dokter dengan kemampuan terbatas. Apalagi dengan ditambah maraknya kasus malpraktek di media massa akhir-akhir ini.
“Masih ingatkah kalian akan aksi pemakaian pita hitam oleh beberapa dokter di kota madiun?” Ya, sedikitnya 300 dokter yang tergabung dalam Ikatan Dokter Indonesia Cabang Madiun, Jawa Timur, menggelar aksi solidaritas menolak kriminalisasi terhadap rekan seprofesi mereka. Para dokter mengenakan pita hitam di lengan kanan selama tiga hari. (TEMPO.CO, Madiun). Berawal dari kasus salah seorang dokter yang dijerat pasal tentang malpraktik oleh keluarga pasiennya ini kerap menjadi sorotan banyak masyarakat. Hal ini menimbulkan berbagai kontroversi. Berbagai respon pun bermunculan menanggapi hal tersebut. 

http://www.blogfpkr.wordpress.com
“Apakah kasus ini berkaitan dengan ambisi seorang dokter untuk memperoleh pendapatan tinggi?”
“Ataukah ini murni dari risiko medis?”
Bicara soal risiko medis. Mungkin ini salah satu peristiwa pahit yang dialami ketika kakak saya yang sedang menunggu suaminya akibat terkena musibah kecelakaan lalu lintas. Suaminya diopname kurang lebih sekitar 15 hari di salah satu rumah sakit yang tidak jauh dari daerah saya. Selang beberapa hari ketika menunggu, kamar sebelah telah dihuni oleh seorang kakek tua yang tidak dikenali identitasnya yang terkena musibah kecelakaan juga. Mungkin nasib malang sudah berpihak pada kakek ini. Ya, awalnya kakek ini dirawat dengan baik, namun setelah beberapa hari berselang pihak rumah sakit hanya membiarkan si kakek hanya terbaring kaku di tempat tidur. Mirisnya lagi, ketika ada salah seorang dokter yang dating, ia hanya melihatnya saja tanpa melakukan suatu hal yang berarti. Bahkan, susternya sering memarahi kakek tersebut. Alhasil beberapa hari kemudian si kakek pun sudah tiada. Apakah ini yang disebut risiko medis?
Terlepas dari kenyataan pahit yang saya paparkan di atas, saya mengapresiasi kinerja para dokter yang sudah berusaha mengabdikan dirinya kepada masyarakat. Saya berharap pemerintah ikut andil dan memiliki terobosan-terobosan baru untuk mengatasi permasalahan di atas. Paling tidak untuk meminimalisir akan adanya penyelewengan yang ada. Sehingga diharapkan semakin  bertambahnya dokter yang benar-benar memiliki jiwa penolong.
Kembali lagi mengenai malpraktik, hal ini dimungkinkan karena adanya oknum yang tidak bertanggung jawab. Oknum yang melakukan tindakan malpraktik apabila benar-benar terbukti bersalah ini seharusnya mendapat tindakan yang tegas dari pihak yang berwajib karena mereka telah dengan sengaja bertindak tidak sesuai aturan yang berakibat kematian. Dan sebaliknya, apabila ini terbukti tidak bersalah pihak yang berwajib sebaiknya mengeluarkan keputusan yang bijak agar tidak menyinggung salah satu pihak.
Kemudian mengenai masalah pelayanan kesehatan terutama di rumah sakit. Hal ini akibat kurang adanya pengawasan, mungkin ketidaksengajaan dan mengabaikan hal sepele ini akan berakibat fatal. Untuk itu perlu adanya petugas tersendiri dalam melakukan pengawasan dan juga mengontrol segala kemungkinan yang ada di rumah sakit.
Tapi, sekarang bukan lagi waktunya pesimis. Masih ada harapan. Diantara 230 juta jiwa lebih penduduk Indonesia, tersembunyi bibit-bibit muda berbakat yang akan menjadikan Indonesia menjadi lebih baik. Masih banyak pula dokter-dokter kecil yang bersih, bertanggungjawab, dan senantiasa mengabdikan dirinya kepada masyarakat. Jangan Kau Tanyakan Apa Yang Telah Negara Berikan padamu, Namun Tanyakan Apa Yang Telah Kau Berikan Pada Negaramu.
Satu hal yang terpenting, yakni kejujuran. Awali semua hal yang kita lakukan dengan sebuah kejujuran. Kalau ada jalan yang benar kenapa harus memilih yang nyeleneh. Sekecil apapun itu pasti kelak akan membuahkan hal yang besar kalau kita awali dengan sebuah kejujuran.
Dan satu hal yang harus kita ketahui, semua hal yang ada di dunia ini sudah diatur oleh Dzat yang Maha Kuasa. Kesehatan, kesembuhan, bahkan kematian bukan datang dari tangan manusia, melainkan hanyalah milik Allah SWT. Kita hanyalah sebagai perantara belaka. Untuk itu, berusahalah untuk selalu bersyukur dan pergunakanlah sisa hidup yang ada.
Jadi, sebagai generasi muda yang peduli akan bangsa ini, marilah kita lakukan yang terbaik yang kita bisa. Mari ubah mindset kita selama ini. Kalau yang lurus bisa, kenapa harus nyeleneh. Berdiri tegap menantang dunia, berani mengambil resiko serta senantiasa berpikir positif untuk Indonesia yang lebih maju. Demi mewujudkan semua itu, maka mulailah dari diri sendiri, dari hal kecil, dan dari sekarang!
Hanya ada satu tanah
Yang dapat kusebut tanah airku
Ia besar karena usaha
Dan usaha itu adalah usahaku*

*dikutip dari sajak seorang penyair Perancis, Rene de Clerq yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dan dibacakan oleh Mohammad Hatta dalam pembelaannya di sidang kedua pengadilan pada tanggal 22 Maret 1928.

6 komentar:

  1. Kalau yang lurus bisa, kenapa harus nyeleneh.
    perlu dilestarikan :D (y)

    BalasHapus
  2. bener banget tuh, yang pengen jadi dokter harus mempersiapkan dengan baik dulu baru jadi dokter :)

    BalasHapus
  3. Betul, saya paling tidak suka bila rakyat yang menengah ke bawah dibiarkan begitu saja. Mentang-mentang hanya jamkesmas atau setingkatnya. Apalagi yang saling menyogok, apa mereka bisa jadi dokter yang sebenarnya? Atau barangkali dokter-dokteran :D

    BalasHapus